INTEGRASI DAN INTERKONEKSI
ILMU PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF
DENGAN RUMPUN ILMU PENGETAHUAN
(ILMU PENGETAHUAN AGAMA & ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL)
Oleh: Aprida Pane
(Mahasiswa Pacsa Sarjana IAIN
Padangsidimpuan)
A. Pendahuluan
Kajian ke-Islaman selama ini yang sering
dipahami oleh banyak orang adalah sebuah kajian yang berkenaan dengan ilmu-ilmu
agama Islam. Demikian juga apabila disebut pendidikan Islam, yang muncul dibenak
kita adalah pelajaran tauhid, fikih, tafsir, hadis, masailul fikih,
tasawuf, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Segala yang dipahami dari realitas ini
tidak lain adalah bahwa Islam seolah-olah hanya dipahami sebatas konsep iman,
ibadah dan akhlak dalam arti sangat sempit. Jika dicermati lebih jauh lagi, seolah-olah
tidak pernah ditemui perbincangan kajian Islam dengan persoalan ilmu seperti,
ilmu politik, sosial, ilmu kimia, ilmu biologi, ilmu sejarah, dan sebagainya.
Untuk mengurangi ketegangan yang seringkali
tidak produktif, dikenal istilah “integrasi dan interkoneksi” dengan rumpun
ilmu. Ilmu Pendidikan Islam Transformatif (IPIT) mencurahkan perhatian pada
problem kesenjangan “pemahaman” dan “pengamalan” agama melalui pendekatan dari
bawah (pengalaman manusiawi). Pendidikan Islam Transformatif (PIT) merupakan
upaya menyiapkan sumberr daya manusia yang modern sekaligus religius, serta
tanggap pada perubahan yang ada disekitarnya dan berusaha mengejawatkan hasil
pemikirannya, yakni perpaduan antara religiutas dan intelektualitas.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai pemahaman tentang integrasi dan interkoneksi ilmu, kemudian integrasi dan interkoneksi ilmu pendidikan Islam trasformatif dengan rumpun ilmu pengetahuan yakni Ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan sosial (Social Science), serta pada akhir tulisan makalah ini penulis akan menganalisa dari hasil uraian yang telah dibahas.
B. Pengertian Integrasi dan Interkoneksi Ilmu
Dalam banyak kasus, Islam telah ditempatkan secara dikotomis, yang
selama ini mennimbulkan keterasingan dari disiplin ilmu yang lain. Hal ini
antara lain yang menyebabkan ketertinggalan para intelektual muslim dalam menjawab perubahan zaman, temasuk
dalam merumuskan multidimensional approach..Dengan
demikian adalah wajar jika masyarakat menggugat para ilmuan muslim melalui
upaya ilmuisasi pengetahuan dalam Islam.
Oleh karena itu, Ilmu pengetahuan Islam perlu
direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam
menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu
kerangka. Dalam ilmu pengetahuan Islam lazimnya digunakan pendekatan wahyu,
pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, yang mana pembahasannya itu bisa
melalui tentang fungsi ilmu pengetahuan ataupun tujuan ilmu pengetahuan.[1]
Paradigma integrasi keilmuan beramsusi bahwa
seolah-olah berharap tidak akan ada lagi perbedaan antara ilmu pendidikan Islam
dengan ilmu umum, yakni dengan cara menggabungkan ilmu yang satu ke dalam yang
lainnya.[2]
Fathul Mufid mengatakan dalam kutipannya bahwa
menurut Kuntowijoyo makna dari integrasi ilmu adalah usaha dalam memadukan
(bukan sekedar menggabung) ilmu aqliyah dengan ilmu naqliyah. bentuk
integrasi ini adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan. Sehingga ayat-ayat tentang qauliyah dan qauniyah
dapat digunakan. Selanjutnya makna integrasi lebih dalam lagi adalah, berkaitan
dengan usaha menggabungkan keilmuan umum dengan keilmuan Islam tanpa harus
menghilangkan ciri khas antara dua keilmuan tersebut.[3]
Lebih lanjut sebagaimana dikemukakan oleh
Fathul Mufid bahwa: “Paradigma interkoneksitas berasumsi bahwa untuk memahami
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijaani manusia, setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri.”[4] Begitu juga ilmu pengetahuan
tertentu sering kali menyatakan dapat berdiri
sendiri, dan dapat menyelesaikan persoalan secara
tersendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain.”
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi
dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan
keilmuan agama. Jika digunakan dengan pendekatan Islamisasi ilmu, yang terjadi
adalah pemisahan atau dipilah, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan
ilmu agama, jadi ilmu umum dihapuskan sehingga diganti dengan ilmu agama.
Adapun integrasi dan interkoneksi ini lebih bersifat menghargai keilmuan umum
yang telah ada, karena pada dasarnya ilmu umum itu telah memiliki basis
epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak kesamaannya,
baik dengan menggunakan metode pendekatan (approach) dan metode berpikir
(procedure) antara keilmuan dan menggabungkan nilai-nilai keilmuan Islam
ke dalamnya ilmu tersebut, sehingga jenis ilmu umum dan ilmu agama dapat saling
bersatu tanpa saling menghilangkan satu sama lain.
Secara epistemologis, paradigma
interkoneksitas merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang
dirasakan selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam
peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dengan pendidikan
agama. Paradigma interkoneksitas, secara aksiologis hendak menawarkan pandangan
dunia manusia beragama dan ilmuwan yang baru, yang lebih terbuka mampu membuka
dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan berpandangan
kedepan. Secara antologis, hubungan antar berbagai disiplin ilmu menjadi
semakin terbuka dan cair, meskipun adanya batas wilayah antara budaya pendukung
keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (Hadlarah al-Nash),
dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial
dan kealaman (Hadlarah al-Ilm) serta budaya pendukung keilmuan
etis-filosofis (Hadlarah al-Falsafah) masih tetap saja ada.[5]
Sebagaimana yang dikutip dalam buku integrasi
ilmu agama dengan ilmu umum, mengatakan bahwa Alquran dan Sunnah sesungguhnya
tidak membedakan antara ilmu pendidikan Islam dengan ilmu-ilmu umum. Yang ada
pada Alquran adalah ilmu. Adanya pembagian antara ilmu umum dan ilmu agama
adalah tidak lain hanya melalui hasil karya manusia yang mengidentifikasi
setiap ilmu berdasarkan objek kajiannya. Ilmu pada hakikatnya berasal dari
Allah. Para ilmuwan dalam berbagai bidangnya bukanlah pencipta ilmu, akan
tetapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan, yakni Allah swt. Atas dasar
pandangan integrated tersebut, maka seluruh ilmu hanya dapat dibedakan
dalam nama dan istilah-istilahnya saja, sedangkan hakikat dan substansi ilmu
sebenarnya satu, dan berasal dari Tuhan.[6]
Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Jika digunakan dengan pendekatan Islamisasi ilmu, yang terjadi adalah pemisahan atau dipilah, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu agama, jadi ilmu umum dihapuskan sehingga diganti dengan ilmu agama. Adapun integrasi dan interkoneksi ini lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang telah ada, karena pada dasarnya ilmu umum itu telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak kesamaannya, baik dengan menggunakan metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure) antara keilmuan dan menggabungkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya ilmu tersebut, sehingga jenis ilmu umum dan ilmu agama dapat saling bersatu tanpa saling menghilangkan satu sama lain.
C. Integrasi dan Interkoneksi Pendidikan Islam Transformatif dengan
Pengetahuan Agama
Pada hakikatnya, agama adalah wahyu Tuhan yang mengatur setiap hubungan
manusia dengan Tuhan (hablum minallah), berikut juga mengatur tentang
hubungan manusia dengan diri sendiri, dengan oranglain, serta dengan lingkungan
hidup yang berbentuk fisik, sosial atau budaya secara keseluruhan. Semua aturan
dan kaidah-kaidah itulah yang disebut dengan syariat.[7]
Agama merupakan kebutuhan asasi setiap manusia. Dengan agama, manusia dapat
menemukan kebenaran dari berbagai persoalan yang bersifat metafisik. Agama
dapat menjadi alat kontrol daya eksplorasi akal dan nafsu untuk senantiasa
berkembang sesuai dengan ajaran agamanya. Sebagai sumber kebenaran, fitrah akal
dan fitah agama hendaknya berjalan secara harmonis dan saling melengkapi satu
sama lain. Agama senantiasa memotivasi perkembangan akal. Sementara melalui
daya eksplorasi akal yang sesuai dengan fitrah-Nya akan memperkuat kebenaran
ajaran agama yang diyakininya.[8]
Sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa Mohammad Nasir mengatakan
semisal diletakkan ‘tauhid’ sebagai landasan dan sekaligus tujuan akhir
pendidikan Islam. Ini memberikan artibahwa pendidikan berikut hasil yang
dibawanya bukan sebagai tujuan, akan tetapi ‘alat’ bagi menata kehidupan
manusia yang lebih baik dan bermanfaat. Dasar ini merupakan karakteristik
pendidikan Islam dan menjadi titik pembeda pendidikan yang di tawarkan Barat.[9]
Pandangan yang mempertentangkan antara agama dengan ilmu pengetahuan akan
memperlemah dinamika peradaban manusia. Seseorang yang fanatik terhadap agama,
tidak mau menerima ilmu pengetahuan, sedangkan seseorang yang bersimpati pada
ilmu pengetahuan akan merasa sinis terhadap agama sehingga dia akan bertindak
secara liar, terlepas dari agama sama sekali. Pada kenyataannya tidaklah
bertentangan. Justrus Islam memiliki hubungan yang harmonis dengan ilmu
pengetahuan.
Salah satu penyebab berkembangnya kecenderungan dikotomi tersebut adalah
kegagalan manusia (Muslim) memahami secara proporsional hubungan antara ilmu
dan agama. Salah satu penyebab hal tersebut adalah karena terjebak oleh ilmuwan
Barat mengenai hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Pandangan mereka secara historis
dilihat dari kejadian sebelum masa renaissance yang terjadi saat itu
pertentangan hebat antara doktri agama (Kristen) dengan temuan ilmu
pengetahuan, yang menyebabkan banyak terjadi korban dikalangan ilmuwan. Namun,
kasus tersebut tidak pernah terjadi pada dunia Islam. Islam tidak bertentangan
dengan ilmu pengetahuan. Secara historis umat Islam dapat mencapai
kejayaan dikarenakan mencapai masa kejayaan pada masa dinasti Abbasiyah, dengan
adanya ilmu pengetahuan Islam hal itu dapat tercapai.[10]
Melalui pendidikan, manusia dapat mengetahui nilai kebenaran, menemukan
cara berpikir, menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan pada sebuah
kesatuan sosial, dan sekaligus mengembangkan fitrahnya, baik fitrah fisik
maupun psikis secara optimal. Proses ini akan membantu manusia dalam
menggunakan akal untuk mempertimbangkan seluruh perbuatannya.[11]
Agama merupakan salah satu dasar pendidikan Islam. Dengan adanya agama,
maka semua aktivitas pendidikan Islam menjadi bermakna, mewarnai dasar lain dan
bernilai ubudiyah. Dalam agama memerlukan
praktik dalam berbagai pendidikan, seperti sejarah (historis), sosiologis,
politik serta administratif, ekonomi, psikologi, dan filosofis. Agama inilah
yang mampu menjadi dasar bagi
semua yang ada dalam pendidikan Islam. Aplikasi
dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumber dari agama
dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar
pendidikan Islam, maka setiap pendidikan Islam dianggap sebagai ibadah, sebab
ibadah merupakan aktualisasi diri yang paling ideal dalam pendidikan Islam.[12]
Kebenaran agama, diantara dasar-dasar pendidikan Islam yang lain dapat di ilustrasikan
seperti gambar berikut ini:[13]
3. Gambar pancaran. Artinya, semakin banyak
wilayah yang mengenai pancaran imaniah-ilahiah, maka semakin baik nilai
kehidupan manusia, baik pada dasar historis, sosiologis, politik dan
administrasi, ekonomi, psikologi, dan filosofis.
Gambar di atas menunjukkan bahwa agama menjadi sumbu bagi dasar operasional
pendidikan Islam. Gambar tersebut memiliki 4 lingkaran: (1) lingkaran yang
paling dalam, yaitu imaniyah-ilahiyyah, yang intinya berupa rukun iman
(iman kepada Allah, Malaikat, kitabullah, Rasulullah, hari kiamat dan
takdir), (2) lingkaran yang kedua dari dalam, yaitu ‘ubudiyah-ilahiyyah,
yang intinya berupa rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
haji) atau dikenal dengan ibadah mahdah yang tata caranya sudah diatur secara
permanen. (3) lingkarang yang ketiga dari dalam, mu’amalah-ilahiyyah
disebut juga ‘ubudiyah-insaniyyah yang intinya berupa dasar yang muncul
dari jihad manusia (seperti: historis, sosiologis, politik dan administrasi,
ekonomi, psikologi, dan filosofis), tanpa dikaitkan dengan dasar agama.[14]
Kemudian, sebagaimana yang diketahui bahwa
ilmu isinya adalah teori. Ilmu pendidikan isinya teori-teori tentang
pendidikan. Ilmu pendidikan Islam isinya teori-teori tentang pendidikan yang
berdasarkan Islam. Hal ini karena keyakinan, dan hal itu berdasarkan Islam.
Dengan apa kehidupan diatur? Begitulah
kira-kira pertanyaan yang pertama. Jawabnya, diatur dengan aturan. Aturan yang
mengatur itu haruslah aturan yang pasti kebenarannya. Karena aturan yang dibuat
oleh manusia belum dapat diyakini pasti kebenarannya, maka orang mencari aturan
yang pasti kebenarannya. Aturan yang pasti benarnya itu haruslah aturan yang
dibuat oleh Yang Mahapintar, Maha Bijaksana. Manusia bukanlah yang Mahapintar.
Manusia mengetahui bahwa banyak yang tidak diketahuinya, dan ia sering salah.
Oleh karena itu, aturan tersebut pasti bukanlah aturan yang dibuat oleh
manusia. Yang Mahapintar adalah yang tidak pernah salah. Muslim meyakini itu
adalah Tuhan. Jadi, aturan Tuhan itulah yang harus digunakan dalam kehidupan
ini, karena aturan itu pasti benar. Pada akhirnya dasar pandangan ini adalah
keyakinan, bukan kekuatan logika.
Pendidikan menduduki posisi terpenting dalam kehidupan manusia, maka muslim meletakkan Alquran, hadis, dan akal sebagai dasar bagi teori-teori pendidikannya. Oleh karena itu, ilmu pendidikan Islam memilih Alquran dan hadis sebagai dasarnya. Kata ‘akal’ tidak perlu disebutkan secara formal karena telah diketahui secara umum bahwa Alquran dan hadis menyuruh menggunakan akal. Jadi, hal ini disebabkan karena kedua sumber itu dijamin kebenarannya. [15]
D. Integrasi dan Interkoneksi Pendidikan Islam Transformatif dengan
Pengetahuan Sosial
Pada umumnya, orang sependapat bahwa ilmu sosial terletak di antara ilmu
alam dan ilmu budaya. Hanya saja orang berbeda pendapat mengenai letak yang
sebenarnya, apakah ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu alam atau ilmu budaya.
Para antropolog cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu
budaya. Mereka meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu budaya. Mereka
melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu mengacu kepada aturan-aturan
tingkah laku yang berdasar atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena
itu, kunci memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat
itu.[16]
Pendidikan dengan pendekatan
sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi
untuk menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang
dihadapinya. Dari adanya pendekatan ini, maka interaksi atau hubungan pendeidikan
dengan sosial dikatakan sebagai bentuk komunikasi sosial, ataupun diciptakan
dengan hubungan sosial. Para sosiolog pendidikan mengkaji praktik-praktik
pendidikan untuk membuktikan hubungannya dengan kelembagaan, tujuan, kurikulum,
proses belajar-mengajar, dan berbagai komponen pendidikan lainnya.
Adapun alasan yang digunakan pendidikan dengan pendekatan sosiologi ini sangat
penting untuk dibahas, yaitu sebagai berikut:
1. Konsep pendidikan, selain didefinisikan melalui pendekatan individual
sebagaimana pada aliran nativisme, juga dapat didekati melalui pendekatan
masyarakat, pendidikan dapat diartikan sebagai pewarisan kebudayaan dari
generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap terpelihara.
2. Pendidikan adalah salah satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah suatu
tindakan sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui suatu jaringan
hubungan-hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan ini bersama dengan
hubungan-hubungan dan peranan-peranan individu inilah yang menentukan watak
pendidikan di suatu masyarakat. Aspek-aspek sosial pendidikan dapat digambarkan
dengan memandang ketergantungan individu satu sama lain dalam proses
pembelajaran.
3. Setiap anak didik memiliki akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan
merupakan kelebihan manusia dibanding dengan makhluk lain. Dengan potensi yang
bersifat kreatif dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk
menghadapi dan memecahkan problem-problemnya. Potensi
akal dan kecerdasan itulah yang menjadikan setiap anak menjadi lebih aktif,
kreatif, dan dinamis untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan. Wahana yang
sangat efektif dalam melaksanakannya adalah pendidikan. Oleh karena itu haruslah berorientasi kepada
sifat dasar dan harkat anak didik sebagaimana ia adalah manusia yang
berkembang. Usaha-usaha yang harus dilakukan
adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif yang memberikan motivasi sehingga
kecerdasan anak didik dapat berfungsi dan berkembang dengan baik.[17]
4. Saat ini yang terjadi dalam program pendidikan adalah harus memuat mata
pelajaran yang berkaitan dengan sistem nasional, serta yang berkaitan juga
dengan kepentingan lokal yang sering disebut dengan kurikulum lokal (kurlok).
Fakta menunjukkan, bahwa Indonesia adalah salah satu negara besar di dunia yang
terdiri lebih dari tiga puluh provinsi. Masing-masing provinsi disamping
memiliki persamaan, juga memiliki perbedaan baik dari segi bahasa, budaya, adat
istiadat, kondisi alam, cuaca, dan sebagainya. Segala perbedaan tersebut harus
dipertimbangkan dalam merancang program pendidikan sehingga para lulusan
pendidikan yang berasal dari daerah tersebut dapat memahami dengan jelas dan lengkap
mengenai keadaan daerahnya yang selanjutnya dapat menolong para lulusan untuk
berkomunikasi, berinteraksi. Dengan cara demikian, pendidikan akan dapat
menolong peserta didik untuk memelihara tradisi budayanya. Dengan demikian,
pendidikan harus dilaksanakan berbasis masyarakat.
5. Setelah terjadinya era reformasi di tahun 1992 sampai sekarang, perhatian
terhadap kepentingan masyarakat semakin meningkat. Program dan kegiatan
pendidikan selain harus mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, juga
harus melibatkan kepentingan masyarakat.
6. Setiap bangsa di dunia menyelenggarakan pendidikan yang disesuai dengan kepentingan negaranya.[18]
E. Peta Konsep Keilmuan (Gagasan Amin Abdullah: Spider Web)
Gambar di bawah ini mengilustrasikan hubungan jaring laba-laba yang
bercorak teoantroposentris-integralistik. Gagasan ini dikenal melalui
ilmuwan muslim, yakni Amin Abdullah. Sebagaimana yang ia gambarkan dengan
strategi spider web. . Pada konteks ini, metode spider web
menawarkan strategi pembelajaran yang mengintegrasi-kan suatu tema ke dalam
semua mata pelajaran. Dalam kegiatan belajar outbound (sekolah alam),
semua objek pembelajaran di alam dapat dikaitkan dalam satu tema yang nantinya
akan dijabarkan dalam mata pelajaran yang akan digunakan, sedangkan dalam
pembelajaran konseptual, metode ini menghasilkan suatu peta konsep.[19]
Spider web yang ditawarkan Amin Abdullah adalah bersifat peta konsep. Sebagai sebuah
peta konsep spider web, tentu saja peta ini dapat dimaknai sebagai
berikut; (1) bahwa setiap item yang terdapat dalam peta itu memiliki
hubungan-hubungan, walau tidak seluruhnya, antara yang satu dengan yang lain;
inilah yang dimaksud Amin Abdullah dengan keilmuan integratif; (2) keilmuan itu
berpusat pada Alquran dan Sunnah dan secara hirarkis berkaitan dengan sejumlah
pengetahuan sesuai dengan tingkat nya; (3) item-item yang terdapat dalam satu
lapis lingkar menunjukkan kesetaraan dilihat dari tingkat abstraksi atau
teoritisnya; dan (4) garis-garis yang memisah antara satu item dengan item lain
dalam satu lapis lingkar tidak dapat dipahami sebagai garis pemisah.[20]
Berikut ini adalah gambar jaring laba-laba yang bercorak teoantroposentris-integralistik:[21]
Seperti yang terlihat dalam gambar, konten jaring laba-laba keilmuan ini tediri atas 4 lapis lingkaran; tiga di antaranya membentuk jalur. Lingkar lapis 1 (paling dalam) adalah Alquran dan Sunnah yang berkedudukan sebagai sumber utama pengetahuan Islam. Di atas lingkar lapis 1 terdapat lingkar lapis 2 yang membentuk jalur dan memuat 8 disiplin ilmu-ilmu Ushuluddin, yaitu Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadis, Tarikh, Fikih, Tafsir, dan Lughah. Lingkar lapis ke-3 adalah jalur pengetahuan teoritik yang terdiri atas; Sociology, Hermeneutics, Philology, Semiotics, Ethics, Phenomenology, Psychology, Philosophy, History, Antrophology, dan Archeology. Sedangkan lingkar lapis 4 (terluar) merupakan jalur pengetahuan aplikatif, yang terdiri atas; Isu-isu Religious Pluralism, Sciences and Technology, Economics, Human Rights, Politics/Civil Society, Cultural Studies, Gender Issues, Environmental Issues, dan Internastional Law. Menurut Amin Abdullah, gambar jaring laba-laba keilmuan di atas mengilustrasikan hubungan yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Di situ tergambar bahwa jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern lantaran dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan era informasi-globalisasi. Di samping itu tergambar sosok yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh kemanusiaan dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena keberadaan Alquran dan Sunnah yang dimaknai secara baru selalu menjadi dasar pada kehidupan agama manusia yang bersatu dalam kesatuan ilmu Allah, yakni ilmu umum dan ilmu agama.. Kesemuanya itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.[22]
Satu hal yang menarik dari teori spider web
keilmuan ini adalah penempatan alquran di tengah kompleksitas perkembangan
keilmuan. Ini suatu penegasan yang penting bagi setiap Muslim, sebab Alquran
itu diyakini sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan
pengetahuan. Sekalipun demikian, Amin Abdullah menegaskan, Islam tidak pernah
menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan
Tuhan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang
berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya
itulah yang disebut teoantroposentrisme.
Amin Abdullah memandang integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan.Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana. Adapun yang dimakud tentang interkoneksitas disini adalah upaya untuk memahami kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga seluruh bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan kerjasama, saling melengkapi, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin seluruh keilmuan. Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Meskipun demikian, apabila ditinjau dari sisi yang memiliki perbuatan, maka tetap dianggap sebagai perbuatan keagamaan, termasuk itu tentang amal, karena posisi Islam adalah sebagai rahmat bagi semua orang. Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Jika menggunakan pendekatan Islamisasi Ilmu, yang terjadi bukanlah penggabungan dan kerja sama, akan tetapi akan terjadi pemisahan, peleburan antara ilmu umun dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) atau metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai Islam, yaitu tauhid, akhlakul karimah dan prinsip rahmatan lil alamin ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.[23]
F. Analisis
Dari hasil uraian pada pembahasan mengenai
integrasi dan interkoneksi Ilmu Pendidikan Islam transformatif (IPIT) dengan rumpun ilmu, penulis berpendapat
bahwa hal tersebut merupakan upaya menghubungkan rumpun ilmu-ilmu dengan ilmu
pendidikan Islam, karena suatu ilmu tidak dapat berdiri sendiri, maka
dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan
saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.
Adapun istilah integrasi dan interkoneksi
adalah sebuah pendekatan yang tidak melumatkan antara ilmu umum dengan ilmu
agama, akan tetapi lebih kepada usaha untuk menyatukan, ataupun kerja sama
antara ilmu umum dengan ilmu agama sehingga adanya proses saling membutuhkan
diantara keduanya. Dengan istilah integrasi dan interkoneksi ini, dapat kita pahami
bahwasanya ilmu pendidikan Islam transformatif tidak dapat berdiri sendiri
tanpa disandingkan dengan rumpun ilmu lainnya.
Begitu pentingnya peran ilmu pengetahuan agama
dalam ilmu pendidikan Islam. Dengan adanya ilmu pengetahuan agama, maka ilmu
pendidikan Islam terkontrol, sehingga tujuan nya dapat tercapai. Karena ilmu
pengetahuan agama merupakan salah satu dasar pendidikan Islam. Dengan adanya
agama, maka semua aktivitas pendidikan Islam menjadi bermakna. Sama halnya
dengan ilmu pengetahuan sosial, bahkan ilmu pendidikan Islam transformatif
begitu memerlukan ilmu sosial, karena ilmu sosial membahas mengenai bagaimana
manusia dalam berinteraksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Integrasi dan interkoneksi ilmu pendidikan Islam transformatif dengan ilmu
pengetahuan agama dapat dilihat melalui kenyataan bahwa agama merupakan dasar
utama dari Pendidikan Islam Transformatif (IPIT). Tanpa adanya ilmu pengetahuan
agama, maka pendidikan Islam tidak bermakna.
2. Integrasi dan interkoneksi ilmu pendidikan Islam transformatif dengan ilmu
pengetahuan sosial dapat dilihat melalui kenyataan bahwa pendidikan Islam
selalu dilaksanakan dengan adanya interaksi, dalam hal ini, maka ilmu
pendidikan Islam harusnya berdiri ataupun disandingkan dengan ilmu pengetahuan
sosial.
3. Integrasi dan interkoneksi ilmu pendidikan transformatif sangatlah relevan,
sebagaimana dengan tujuan Pendidikan Islam Transformatif (PIT) yang ingin
melahirkan individu yang memiliki cakrawala luas serta religius, maka
interkoneksi dan integrasi ini merupakan wahana untuk menghasilkan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang memiliki pemikiran religiuitas
dan intelektualitas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana, 2008.
Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu
Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005..
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan
Multidisipliner: Normatif Parenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi,
Menajemen, Tekhnologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta: Raja
Grafindo,2010.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013.
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi
Pendekatan Integrasi dan Interkonektif , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, dalam
Jurnal Penelitian, Volume 1, No.1, Juni 2013.
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari
Metode Rasional hingga Metode Klasik , Jakarta: Erlangga, 2005. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2013.
Parluhutan Siregar, “Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam
Perspektif M. Amin Abdullah”, dalam Jurnal Penelitian, MIQOT Vol.
XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014.
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual
dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
[1]Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, dalam Jurnal Penelitian, Volume
1, No.1, Juni 2013, h. 63.
[2]Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integrasi
dan Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 2.
[3]Fathul Mufid, “Integrasi”, h.
69.
[4]Ibid.
[5] Ibid., h. 3.
[6]Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 52.
[7]Abdullah, Islamic Studies, h. 101.
[8]Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner:
Normatif Parenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Menajemen,
Tekhnologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo,2010), h. 30.
[9]Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h. 131.
[10]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga
Metode Klasik (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 22.
[11]Nizar, Memperbincangkan, h. 132.
[12]Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h. 47.
[13]Ibid., h. 48.
[14]Ibid., h. 49.
[15]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), h. 29-31.
[16]Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 44.
[17] Nata, Ilmu Pendidikan, h. 204.
[18] Ibid., h. 207.
[19] Parluhutan Siregar, “Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dalam Perspektif M.
Amin Abdullah”, dalam Jurnal Penelitian, MIQOT Vol. XXXVIII No. 2
Juli-Desember 2014, h. 344.
[20]Ibid., h. 344.
[21]Abdullah, Islamic Studies, h. 107.
[22]Siregar, Integrasi Ilmu-ilmu, h. 345.
[23]Mufid,”Integrasi Ilmu” , h. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar