VIDEO MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF 1
VIDEO MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF 2
MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
I. PENDAHULUAN
Dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak
upaya telah dilakukan oleh pemerintah di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara nasional adalah perubahan
kurikulum. Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000, Indonesia setidaknya tiga kali telah mengalami perubahan kurikulum.
Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil
pendidikan di Indonesia masih jauh
dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi
dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001).
Rendahnya
tingkat kompetisi dan relevansi lulusan tersebut dapat digunakan alternatif refleksi
bahwa tingkat kompetisi
dan relevansi pembelajaran juga patut dipikirkan. Kompetensi peserta didik sebagai produk pembelajaran sangat menentukan tingkat
kehidupannya kelak setelah mereka menjalani hidup di dunia nyata.
Artinya, kompetensi itu sangat
penting bagi setiap orang dalam menghadapi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Lebih-lebih dalam menghadapi era
informasi, AFTA, dan perdagangan bebas di abad
pengetahuan yang banyak ditandai oleh pergeseran peran manufaktur ke
sektor jasa berbasis pengetahuan,
kompetensi itu merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan kehidupan manusia.
Artinya, ketika kehidupan
telah berubah menjadi
semakin maju dan kompleks, masalah
kehidupan yang banyak diwarnai oleh fenomena dunia nyata diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan. Berdasarkan pemilikan kompetensi keilmuan
tersebut, maka peserta didik diharapkan mampu memecahkan
dan mengatasi permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik, lebih cepat, adaptif,
lentur, dan versatile.
Atas dasar pemikiran tersebut, di Indonesia mulai tahun 2004 secara serentak telah diimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Implementasi KBK yang merupakan wujud perubahan kurikulum sebelumnya sepatutnya disertai perubahan cara berpikir. Costa menyatakan changing curriculum means changing your mind (1999:26). Perubahan pola berpikir yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah, tetapi juga oleh semua unsur praktisi dan teoretisi pendidikan. Perubahan pola pikir tersebut diperlukan agar para Guru dapat secara optimal memfasilitasi siswanya belajar dengan KBK. Guru diharapkan senantiasa berkolaborasi dan bersinergi memikirkan esensi KBK agar implementasinya dapat berdampak positif bagi siswa di sekolah.
Beberapa penekanan perubahan pikiran yang diperlukan adalah: (1) dari peran guru sebagai transmiter ke fasilitator, pembimbing dan konsultan, (2) dari peran guru sebagai sumber pengetahuan menjadi kawan belajar, (3) dari belajar diarahkan oleh kurikulum menjadi diarahkan oleh siswa sendiri, (4) dari belajar dijadwal secara ketat menjadi terbuka, fleksibel sesuai keperluan, (5) dari belajar berdasararkan fakta menuju berbasis masalah dan proyek, (6) dari belajar berbasis teori menuju dunia dan tindakan nyata serta refleksi, (7) dari kebiasaan pengulangan dan latihan menuju perancangan dan penyelidikan, (8) dari taat aturan dan prosedur menjadi penemuan dan penciptaan, (9) dari kompetitif menuju kolaboratif, (10) dari fokus kelas menuju fokus masyarakat, (11) dari hasil yang ditentukan sebelumnya menuju hasil yang terbuka, (12) dari belajar mengikuti norma menjadi keanekaragaman yang kreatif (13) dari penggunaan komputer sebagai obyek belajar menuju penggunaan komputer sebagai alat belajar, (14) dari presentasi media statis menuju interaksi multimedia yang dinamis, (15) dari komunikasi sebatas ruang kelas menuju komunikasi yang tidak terbatas, (16) dari penilaian hasil belajar secara normatif menuju pengukuran unjuk kerja yang komprehensif.
Pergeseran pola berpikir tersebut berimplikasi pada
penetapan tatanan tertentu dalam pembelajaran. Tatanan
tertentu yang menjadi
fokus pembelajaran mendasarkan
diri pada hakikat tuntutan perkembangan iptek. Beberapa kecenderungan tersebut, antara lain: (1) penempatan empat pilar pendidikan UNESCO: learning to know, leraning to do, learning
to be, dan leraning to life together
sebagai paradigma pembelajaran, (2) kecenderungan bergesernya orientasi pembelajaran dari teacher centered menuju student centered,
(3) kecenderungan pergeseran dari content-based curriculum menuju competency-based curriculum, (4) perubahan teori
pembelajaran dan asesmen dari model behavioristik menuju model konstruktivistik, dan (5) perubahan
pendekatan teoretis menuju kontekstual, (6) perubahan paradigma
pembelajaran dari standardization menjadi customization, (7) dari evaluasi dengan paper and pencil test yang hanya mengukur convergen thinking menuju open- ended question, performance assessment, dan portfolio
assessment, yang dapat mengukur
divergen thinking.
Perubahan-perubahan tersebut sangat strategis untuk diinternalisasi dan dipahami oleh para guru di sekolah. Secara lebih spesifik, perubahan yang patut dipahami adalah yang menyangkut pembelajaran. Pembelajaran yang dapat mengakomodasi implementasi KBK tetunya juga harus berubah dari yang telah biasa dilakukan yang cenderung linear, statik, dan mekanistik menuju pada pembelajaran yang inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivitik yang senantiasa mengakomodasi pengetahuan awal sebagai starting point.
Hasil
survai di kota Malang, Surabaya, Palangkaraya,
dan Singaraja mengungkapkan bahwa para guru SD, SMP, dan SMA tampak belum memberdayakan
pengetahuan awal sebagai langkah awal
dalam merancang pembelajaran (Ardhana et
al., 2003; Ardhana et al., 2004). Alasan para guru adalah, sangat
sulit mengeksplorasi pengetahuan awal siswa. Para guru cenderung merancang dan mengimplementasikan pembelajaran
dengan pola mengajar secara linear.
Secara umum, pengetahuan awal berpengaruh langsung dan tak langsung
terhadap proses pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran
dan mengarahkan hasil-hasil belajar yang lebih baik. Secara tidak langsung, pengetahuan awal dapat mengoptimalkan
kejelasan materi-materi pelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu belajar
dan pembelajaran. Di samping
itu, pengetahuan awal mempengaruhi perasaan siswa dalam menilai
informasi yang dipresentasikan dalam sumber-
sumber belajar dan dalam kelas. Banyak pengetahuan awal yang belum
ilmiah sangat resistan untuk berubah.
Perubahan pengetahuan awal menuju konsepsi ilmiah terjadi pada kuantitas yang sangat terbatas, atau hanya sedikit
konsepsi baru terbentuk dan diintegrasikan oleh para siswa ke dalam pengetahuan yang telah dimiliki.
Pengetahuan awal menunjuk pada isi mata pelajaran. Pandangan
konstruktivistik memberikan wawasan
bahwa konsepsi-konsepsi prapembelajaran menentukan proses dan hasil
belajar. Konsepsi tentang pengetahuan isi sangat penting untuk dikaji, karena
sering menimbulkan salah pemahaman.
Duit (1996) menyatakan bahwa para siswa dan juga para guru memiliki persepsi
naif, mereka memandang
pengetahuan dapat diproduksi secara alamiah dan bukan hasil
konstruksi manusia yang bersifat
tentatif.
Konsepsi para guru mengenai tujuan-tujuan pembelajaran pada umumnya dan tujuan sebuah peristiwa mengajar pada khususnya sering tidak sesuai dengan konsepsi para siswa. Di satu sisi, para guru mungkin memiliki konsepsi bahwa suatu kejadian tunggal mencerminkan fenomena-fenomena yang saling berhubungan. Di sisi lain, para siswa mungkin tidak memiliki perspektif seperti itu. Jika ini terjadi dalam event belajar, maka muncullah misunderstanding di kalangan siswa.
Dalam
pembelajaran, para guru relatif sulit mengakomodasi pengetahuan awal siswa. Oleh sebab itu, isu mengenai pengetahuan
awal yang kurang ilmiah yang berurat berakar
secara kuat di benak siswa hendaknya secara kontinu menjadi pemikiran
bagi para guru, para pengambil keputusan
pendidikan, dalam rangka
mewujudkan pembelajaran yang bermakna.
Dua faktor cukup esensial dalam pembelajaran yang bermakna, yaitu orientasi desain dan evaluasi pembelajaran. Pembelajaran hendaknya mencoba menggali kesulitan-kesulitan belajar para siswa berbasis pengetahuan awal dengan desain pembelajaran berorientasi pada fenomena dunia nyata. Pembelajaran hendaknya diupayakan dapat memberdayakan pengetahuan awal dan evaluasi yang komprehesif, kerja individu berbasis proyek, pemecahan masalah kolaboratif, dan kerja kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil. Upaya-upaya tersebut merupakan bagian integral pendekatan konstruktivistik.
II. MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hadirnya
KBK berarti menuntut diimplementasikannya pembelajaran inovatif.
Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan
peluang kepada siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self
directed) dan dimediasi oleh
teman sebaya (peer mediated instruction).
Pembelajaran inovatif mendasarkan
diri pada paradigma konstruktivistik.
Pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik membantu siswa untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi melalui kreasi pemahaman baru (Gardner, 1991) yang merupakan hasil dari munculnya struktur kognitif baru. Pemahaman yang mendalam terjadi ketika hadirnya informasi baru yang mendorong munculnya atau menaikkan struktur kognitif yang memungkinkan para siswa memikirkan kembali ide-ide mereka sebelumnya. Dalam seting kelas konstruktivistik, para siswa bertanggung jawab terhadap belajarannya, menjadi pemikir yang otonom, mengembangkan konsep terintegrasi, mengembangkan pertanyaan yang menantang, dan menemukan jawabannya secara mandiri (Brook & Brook, 1993; Duit, 1996; Savery & Duffy, 1996). Tujuh nilai utama konstruktivisme, yaitu: kolaborasi, otonomi individu, generativitas, reflektivitas, keaktifan, relevansi diri, dan pluralisme. Nilai-nilai tersebut menyediakan peluang kepada siswa dalam pencapaian pemahaman secara mendalam.
Seting pengajaran konstruktivistik yang mendorong konstruksi pengetahuan secara aktif
memiliki beberapa ciri: (1) menyediakan peluang kepada siswa belajar dari
tujuan yang ditetapkan dan
mengembangkan ide-ide secara lebih luas; (2) mendukung kemandirian siswa belajar
dan berdiskusi, membuat
hubungan, merumuskan kembali
ide-ide, dan menarik
kesimpulan sendiri; (3) sharing dengan
siswa mengenai pentingnya pesan bahwa dunia adalah tempat yang kompleks
di mana terdapat pandangan yang multi dan kebenaran sering merupakan hasil interpretasi; (4) menempatkan pembelajaran berpusat pada siswa dan penilaian
yang mampu mencerminkan berpikir divergen siswa.
Urutan-urutan mengajar
konstruktivistik melibatkan suatu periode di mana pengetahuan awal para siswa didiskusikan secara eksplisit. Dalam diskusi kelas yang menyerupai negosiasi, guru memperkenalkan konsepsi untuk dipelajari dan mengembangkannya.
Strategi konflik kognitif cenderung memainkan peranan utama ketika pengetahuan awal para siswa diperbandingkan
dengan konsepsi yang diperlihatkan oleh guru.
Untuk maksud tersebut, pemberdayaan pengetahuan awal para siswa sebelum
pembelajaran adalah salah satu langkah yang efektif dalam pembelajaran konstruktivistik.
Beberapa pendekatan pembelajaran sering berfokus pada kemampuan metakognitif para siswa. Para siswa diberikan kebebasan
dalam mengembangkan keterampilan berpikir. Pembelajaran
mencoba memandu para siswa menuju pandangan konstruktivistik mengenai belajar,
bahwa siswa sendiri secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Penelitian sebelumnya
telah mengungkapkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan proses dan hasil
belajar siswa (Ardhana et al., 2003; Sadia
et al., 2004; Santyasa et al., 2003).
Seirama
dengan kesesuaian penerapan paradigma pembelajaran, tidak terlepas pula dalam penetapan tujuan
belajar yang disasar
dan hasil belajar yang diharapkan.
Tujuan belajar menurut paradigma konstruktivistik mendasarkan diri pada
tiga fokus belajar, yaitu: (1) proses, (2) tranfer
belajar, dan (3) bagaimana belajar.
Fokus yang pertama—proses, mendasarkan diri pada nilai sebagai dasar untuk mempersepsi apa yang terjadi apabila siswa diasumsikan belajar. Nilai tersebut didasari oleh asumsi, bahwa dalam belajar, sesungguhnya siswa berkembang secara alamiah. Oleh sebab itu, paradigma pembelajaran hendaknya mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia dibandingkan hanya menganggap mereka belajar hanya dari apa yang dipresentasikan oleh guru. Implikasi nilai tersebut melahirkan komitmen untuk beralih dari konsep pendidikan berpusat pada kurikulum menuju pendidikan berpusat pada siswa. Dalam pendidikan berpusat pada siswa, tujuan belajar lebih berfokus pada upaya bagaimana membantu para siswa melakaukan revolusi kognitif. Model pembelajaran perubahan konseptual (Santyasa, 2004) merupakan alternatif strategi pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang fokus pada proses pembelajaran adalah suatu nilai utama pendekatan konstruktivstik.
Fokus yang kedua—transfer belajar, mendasarkan diri pada premis “siswa dapat menggunakan dibandingkan hanya dapat mengingat apa yang dipelajari”. Satu nilai
yang dapat dipetik dari premis
tersebut, bahwa belajar bermakna harus
diyakini memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan belajar menghafat, dan pemahaman lebih baik dibandingkan hafalan. Sebagai
bukti pemahaman mendalam
adalah kemampuan mentransfer apa yang dipelajari ke dalam situasi
baru.
Fokus yang ketiga—bagimana belajar (how to learn) memiliki nilai yang
lebih penting dibandingkan dengan
apa yang dipelajari (what to learn).
Alternatif pencapaian learning how to learn, adalah dengan memberdayakan keterampilan berpikir siswa. Dalam hal ini, diperlukan fasilitas belajar untuk
ketarampilan berpikir. Belajar berbasis keterampilan berpikir merupakan dasar untuk mencapai tujuan belajar bagaimana belajar (Santyasa, 2003).
Desain pembelajaran yang konsisten dengan tujuan belajar
yang disasar tersebut
tentunya diupayakan pula untuk mencapai
hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma tentang hasil belajar yang
berasal dari tujuan belajar kekinian tersebut hendaknya bergeser dari belajar hafalan
menuju belajar mengkonstruksi pengetahuan.
Belajar hafalan, miskin dengan retensi, transfer, dan hasil belajar. siswa tidak menyediakan perhatian terhadap informasi relevan yang diterimanya. Belajar hafalan, hanya mampu mengingat informasi-informasi penting dari pelajaran, tetapi tidak bisa menampilkan unjuk kerja dalam menerapkan informasi tersebut dalam memecahkan masalah-masalah baru. Siswa hanya mampu menambah informasi dalam memori. Belajar mengkonstruksi pengetahuan dapat menampilkan unjuk kerja retensi dan transfer. Siswa mencoba membuat gagasan tentang informasi yang diterima, mencoba mengembangkan model mental dengan mengaitkan hubungan sebab akibat, dan menggunakan proses-proses kognitif dalam belajar. Proses-proses kognitif utama meliputi penyediaan perhatian terhadap informasi-informasi yang relevan dengan seleksi, mengorganisasi infromasi-informasi tersebut dalam representasi yang koheren melalui proses pengorganisasian, dan menggabungkan representasi-representasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ada di benaknya melalui proses integrasi. Hasil-hasil belajar tersebut secara teoretik menjamin siswa untuk memperoleh keterampilan penerapan pengetahuan secara bermakna. Dalam hal ini, peranan guru sangat strategis untuk membantu siswa mengkonstruksi tujuan belajar.
Menurut
hasil forum Carnegie tentang pendidikan dan ekonomi (Arend et al., 2001), di abad informasi
ini terdapat sejumlah
kemampuan yang harus dimiliki oleh Guru dalam pembelajaran. Kemampuan-kemampuan tersebut, adalah memiliki
pemahaman yang baik tentang
kerja baik fisik maupun sosial, memiliki rasa dan kemampuan mengumpulkan dan menganalisis data, memiliki kemampuan
membantu pemahaman siswa, memiliki kemampuan
mempercepat kreativitas sejati siswa, dan memiliki kemampuan kerja sama
dengan orang lain. Para Guru diharapkan dapat belajar sepanjang
hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka
perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Guru tidak diharuskan
memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya
memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan,
di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para guru diharapkan
bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak
independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para guru diharapkan menjadi masyarakat
memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, guru juga dituntut
memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar
dari topik-topik yang beragam.
Secara lebih spesifik,
peranan guru dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.
Sebagai expert learners, guru diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
Sebagai
manager, guru berkewajiban memonitor
hasil belajar para siswa dan masalah- masalah
yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor
ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini,
guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai
isi, menseleksi proses- proses kognitif
untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan siswa.
Sebagai mediator, guru
memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa memformulasikan pertanyaan atau
mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para
siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan
gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada
siswa ikut berpikir
kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran, peran guru adalah
mengkreasi dan memahami model-model
pembelajaran inovatif. Gunter et al (1990:67)
mendefinisikan an instructional model is a step-by-step procedure that
leads to specific learning outcomes. Joyce & Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
pembelajaran. Dengan demikian, model
pembelajaran merupakan kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif, yang
relatif sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An instructional strategy is a method for delivering instruction that is intended
to help students achieve a learning objective
(Burden & Byrd, 1999:85).
Selain memperhatikan rasional teoretik, tujuan, dan hasil yang ingin
dicapai, model pembelajaran memiliki
lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1) syntax,
yaitu langkah-langkah
operasional pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma
yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau
lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant effects—hasil
belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar
di luar yang disasar (nurturant effects).
Berikut diberikan delapan contoh model pembelajaran yang berlandaskan paradigma konstruktivistik, yaitu: model reasoning and problem solving, model inquiry training, model problem-based instruction, model pembelajaran perubahan konseptual, model group investigation, model problem-based learning, model penelitian Jurisprudensial, dan model penelitian sosial.
2.1
Model Reasoning and Problem Solving
Di
abad pengetahuan ini, isu mengenai perubahan paradigma pendidikan telah gencar didengungkan, baik yang menyangkut content maupun pedagogy. Perubahan tersebut meliputi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen yang komprehensif (Krulik
& Rudnick, 1996). Perubahan tersebut
merekomendasikan model reasoning and problem solving
sebagai alternatif pembelajaran yang konstruktif. Rasionalnya, bahwa kemampuan reasoning and
problem solving merupakan keterampilan utama yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki
dan melakukan aktivitas di dunia nyata.
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil
(retensi), yang meliputi: basic thinking, critical thinking, dan creative
thinking. Termasuk basic thinking adalah kemampuan memahami konsep.
Kemampuan-kemapuan critical thinking adalah menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada masalah, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, memvalidasi dan menganalisis informasi, mengingat
dan mengasosiasikan informasi yang dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan kesimpulan yang valid, dan melakukan
analisis dan refleksi.
Kemampuan-kemampuan creative
thinking adalah menghasilkan produk orisinil, efektif, dan kompleks,
inventif, pensintesis, pembangkit, dan penerap ide.
Problem adalah
suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang mengkonfrontasikan
individu atau kelompok untuk menemukan jawaban dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok
untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam
rangka memenuhi tuntutan situasi yang
tak lumrah tersebut (Krulik & Rudnick, 1996). Jadi aktivitas problem solving diawali dengan konfrontasi dan berakhir apabila sebuah
jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi
masalah. Kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning.
Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran (Krulik & Rudnick, 1996), yaitu: (1) membaca dan berpikir (mengidentifikasi fakta dan masalah, memvisualisasikan situasi, mendeskripsikan seting pemecahan, (2) mengeksplorasi dan merencanakan (pengorganisasian informasi, melukiskan diagram pemecahan, membuat tabel, grafik, atau gambar), (3) menseleksi strategi (menetapkan pola, menguji pola, simulasi atau eksperimen, reduksi atau ekspansi, deduksi logis, menulis persamaan), (4) menemukan jawaban (mengestimasi, menggunakan keterampilan komputasi, aljabar, dan geometri), (5) refleksi dan perluasan (mengoreksi jawaban, menemukan alternatif pemecahan lain, memperluas konsep dan generalisasi, mendiskusikan pemecahan, memformulasikan masalah-masalah variatif yang orisinil).
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai
konselor, konsultan, sumber
kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses
siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah.
Sarana
pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses berpikir dasar, kritis, kreatif,
berpikir tingkat tinggi,
dan strategi pemecahan masalah non rutin, dan masalah-masalah
non rutin yang menantang siswa untuk melakukan upaya reasoning dan problem
solving.
Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna. Sedangkan dampak pengiringnya adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.2 Model Inquiry Training
Untuk model ini, terdapat
tiga prinsip kunci, yaitu pengetahuan bersifat tentatif, manusia memiliki sifat ingin tahu yang
alamiah, dan manusia mengembangkan indivuality secara mandiri. Prinsip pertama
menghendaki proses penelitian secara berkelanjutan, prinsip kedua mengindikasikan pentingkan siswa melakukan eksplorasi, dan yang ketiga—
kemandirian, akan bermuara
pada pengenalan jati diri dan sikap ilmiah.
Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran (Joyce & Weil, 1980), yaitu: (1) menghadapkan masalah (menjelaskan prosedur penelitian, menyajikan situasi yang saling bertentangan), (2) menemukan masalah (memeriksa hakikat obyek dan kondisi yang dihadapi, memeriksa tampilnya masalah), (3) mengkaji data dan eksperimentasi (mengisolasi variabel yang sesuai, merumuskan hipotesis), (4) mengorganisasikan, merumuskan, dan menjelaskan, dan (5) menganalisis proses penelitian untuk memperoleh prosedur yang lebih efektif.
Sistem sosial yang mendukung adalah kerjasama, kebebasan intelektual,
dan kesamaan derajat. Dalam proses
kerjasama, interaksi siswa harus didorong dan digalakkan. Lingkungan intelektual ditandai oleh sifat terbuka
terhadap berbagai ide yang relevan. Partisipasi guru dan siswa dalam pembelajaran dilandasi oleh paradigma
persamaan derajat dalam mengakomodasikan segala ide yang berkembang.
Prinsip-prinsip reaksi yang harus dikembangkan adalah: pengajuan
pertanyaan yang jelas dan lugas, menyediakan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki pertanyaan, menunjukkan butir-butir yang kurang sahih, menyediakan bimbingan
tentang teori yang digunakan,
menyediakan suasana kebebasan intelektual, menyediakan dorongan dan dukungan atas interaksi, hasil eksplorasi,formulasi, dan generalisasi siswa.
Sarana
pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual, strategi
penelitian, dan masalah yang menantang siswa
untuk melakukan penelitian.
Sebagai
dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Sedangkan dampak pengiringnya
adalah hakikat tentatif krilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi siswa, toleransi
terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.
2.3
Model Problem-Based Instruction
Problem-based instruction adalah
model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa dalam belajar
dan pemecahan masalah
otentik (Arends et al.,
2001). Dalam pemrolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,
mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta,
mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arend et al., 2001), yaitu: (1) guru mendefisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa), (2) guru membantu siswa mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan surve dan pengukuran), (3) guru membantu siswa menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota masyarakat).
Sistem
sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan siswa dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, interaksi
sosial yang efektif,
latihan investigasi masalah
kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk
guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan korsi yang
mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata
untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa.
2.4 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual
Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) mempertahankan intuisinya semula, (2) merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan (3) merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru. Perubahan konseptual terjadi
ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses
perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa
oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi
memfasilitasi dan memediasi agar
terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al,. 1994). Proses negosiasi
makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi
juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain
melalui peer mediated instruction.
Costa (1999:27) menyatakan meaning making is not just an individual
operation, the individual interacts
with others to construct shared knowledge.
Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki
enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip
secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan
pengetahuan secara bermakna.
Sistem
sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru sebagai teman belajar siswa, minimnya peran guru sebagai
transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan menjalani learning to be.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah:
peranan guru sebagai
fasilitator, negosiator, konfrontator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan atau
tertulis melalui
pertanyaan-pertanyaan resitasi dan konstruksi. Pertanyaan resitasi bertujuan
memberi peluang kepada siswa memangil
pengetahuan yang telah dimiliki dan pertanyaan konstruksi bertujuan
menegosiasi dan mengkonfrontasi siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa,
bahan ajar, panduan bahan ajar untuk
siswa dan untuk guru, peralatan eksperimen yang sesuai, model analogi,
meja dan korsi yang mudah dimobilisasi.
Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal .
2.5 Model Group Investigation
Ide
model pembelajaran geroup investigation bermula
dari perpsektif filosofis terhadap konsep
belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman.
Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku Democracy and Education (Arends,
1998). Dalam buku itu, Dewey
menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi
intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5)
pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain,
artinya prosedur demokratis sangat penting;
(6) kegiatan belajar
hendaknya berhubungan dengan
dunia nyata.
Gagasan-gagasan
Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation
yang kemudian dikembangkan oleh
Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji
masalah-masalah sosial antar pribadi (Arends, 1998). Model
group-investigation memiliki enam langkah pembelajaran
(Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok,
menentukan sumber, memilih
topik, merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari,
bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi,
mengumpulkan informasi, menganalisis data,
membuat inferensi), (4) organizing (anggota
kelompok menulis laporan, merencanakan presentasi
laporan, penentuan penyaji, moderator,
dan notulis), (5) presenting
(salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi, mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan
(6) evaluating (masing-masing siswa
melakukan koreksi terhadap laporan
masing-masing berdasarkan hasil diskusi
kelas, siswa dan guru berkolaborasi
mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.
Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai
konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas,
dan pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan
meneliti apa hakikat dan fokus
masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi
yang diperlukan dan pengorganisasian
kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang diorganisasi oleh
kelompok dan bagaimana membedakan
kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa,
bahan ajar, panduan bahan ajar untuk
siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai
dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelitian yang berdisiplin, proses
pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam. Sebagai dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM
dan komitmen dalam bernegara, kebebasan
sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
2.6 Model problem-based learning
Problem-based learning
adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat
konfrontasi kepada pebelajar dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar
(Fogarty, 1997).
Model problem based
learning memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar
dimulai dengan suatu permasalahan, (2) memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar
permasalahan, bukan di seputar disiplin
ilmu, (4) memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
(5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar
untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari
dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Masalah dalam model problem based learning mengintegrasikan komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined.
Representasi atau simulasi
masalah dapat dibuat secara naratif,
yang mengacu pada permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objek-objek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan pebelajar
dalam memecahkan masalah. Manipulasi ruang permasalahan
memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai,
dan tanda-tanda serta alat-alat yang menjadi mediasi
dalam interaksi.
Model problem-based
learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3)
mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan
sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah
didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan
secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty,
1997).
Menemukan masalah. Pebelajar
diberikan masalah berstruktur ill-defined yang
diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan
diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit
fakta-fakta di seputar
konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada pebelajar
untuk melakukan penyelidikan. Pebelajar menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi
pengetahuan antar anggota
kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Mendefinisikan masalah. Pebelajar
mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter
yang jelas. Pebelajar membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu
disediakan. Pada langkah ini, pebelajar
melibatkan kecerdasan intra-personal dan
kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.
Mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, pebelajar mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.
Menyusun dugaan sementara. Pebelajar menyusun
jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan. Dalam hal ini,
pebelajar juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang
dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan- hubungan,
jawaban dugaannya, dan penalaran
mereka dengan langkah-langkah yang logis.
Menyelidiki. Pebelajar melakukan
penyelidikan terhadap data-data
dan informasi yang diperolehnya berorientasi pada
permasalahan. Pebelajar melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi
dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur
belajar yang memungkinkan pebelajar dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami dunia mereka.
Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. Pebelajar
menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui
gambaran nyata yang mereka pahami.
Pebelajar melibatkan kecerdasan verbal-linguistic
memperbaiki pernyataan rumusan
masalah sedapat mungkin
menggunakan kata yang lebih tepat.
Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan
menunjukkan secara jelas fakta-fakta
dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.
Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan
secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan
informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk
mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan
masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk
menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih
baik ketimbang dilakukan secara individual.
Menguji solusi
permasalahan. Pebelajar menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip
antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik.
Pebelajar menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji
alternatif pemecahan masalah
dengan membuat sketsa,
menulis, debat, membuat
plot untuk mengungkapkan ide-ide
yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.
Minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan merupakan ciri sistem sosial yang berkembang dalam pembelajaran ini. Suasana kelas cenderung demokratis. Guru dan siswa memiliki peranan yang sama yaitu memecahkan masalah, dan interaksi kelas dilandasi oleh kesepakatan kelas.
Prinsip
reaksi yang berkembang dalam
pembelajaran ini adalah, bahwa guru lebih berperan sebagai
konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat
tinggi. Peran tersebut ditampilkan utamanya dalam proses siswa melakukan
aktivitas pemecahan masalah.
Sarana pembelajaran dalam model problem-based
learning adalah masalah-masalah aktual
dan upayakan yang bersifat ill-defined yang
mampu menciptakan suasana konfrontatif dan
dapat membangkitkan proses metakognisi, berpikir tingkat tinggi, dan strategi
pemecahan masalah yang bersifat divergen.
Dalam model problem-based learning ini, pemahaman, transfer pengetahuan, keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan komunikasi ilmiah merupakan dampak langsung pembelajaran. Sedangkan peluang siswa memperoleh hakikat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin merupakan dampak pengiring pembelajaran.
2.7
Model Penelitian Jurisprudensial
Dasar pemikiran model ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang kontroversial dalam konteks sosial yang produktif, setiap warga negara perlu memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesepakatan dengan orang lain. Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh masalah soaial, yang paling tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep keadilan, hak azasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a) mengenal dengan baik nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya, (b) memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, (c) menguasai pengetahuan tentang politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.
Yang
paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini adalah konflik rasial dan etnis, konflik ideologi dan
keagamaan, keamanan pribadi, konflik antar golongan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan
nasional. Lingkup dan tingkat
kerumitan dari masing-masing bidang kajian tersebut tentu saja harus
disesuaikan dengan tingkat usia
dan lingkungan siswa.
Model penelitian Jurisprudensial ini memiliki enam langkah
pembelajaran (Joyse dan Weil,
1986:268). (1) Orientasi kasus, pada
tahapan ini pengajar memperkenalkan materi pelajaran
dan mereviu data yang ada. (2) Mengidentifikasi
kasus, pada tahapan ini, siswa mensintesiskan
fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan pemerintah untuk
didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang terjadi, mengenali fakta yang
melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan. (3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan
kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4) Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada
tahapan ini siswa menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh, membuktikan
konsekuensi yang diinginkan dan yang
tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan
melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara
membandingkan nilai yang satu dengan yang lainnya
dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai. (5) Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya
tersebut, dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji asumsi faktual
yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya,
menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut.
Sistem sosial yang berkembang, bahwa guru memulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap yang satu ke tahap lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk menyesuaikan tugas-tugas belajarnya pada masing-masing tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan dapat melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.
Prinsip
reaksi yang berlangsung terutama yang terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif, menyetujui, atau
tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh guru, merupakan reaksi terhadap
komentar siswa dengan cara memberi
pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau
keumuman, dan kejelasan secara definitif. Untuk dapat memerankan hal tersebut, guru hendaknya dapat mengantisifasi
nilai yang diajukan oleh siswa dan
berkenaan dengan hal tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi siswa dengan
hal-hal yang menantang dan melacak kebutuhan
siswa lebih jauh.
Sistem
pendukung yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen yang relevan dengan masalah. Seyogyanya
disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan
secara resmi mengenai kasus-kasus yang aktual. Guru dapat pula
mengembangkan sistem pendukung dengan
cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi
yang sangat langka atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam menerapkan model ini, dua hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat usia siswa dan lingkungan belajarnya.
Dampak pembelajaran model penelitian Jurisprudensial ini adalah: kemampuan mengasumsikan peranan siswa lain dan kemampuan dalam berdialog. Sedangkan dampak pengiring pembelajaran adalah: kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, empati/pluralisme, fakta tentang masalah sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi melakukan tindakan sosial.
2.8 Model Penelitian Sosial
Model
pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk melakukan refleksi terhadap kelas di mana
dia memfasilitasi siswa. Menurut
Massialas dan Cox (dalam Joys dan Weil, 1986), bahwa suasana
kelas yang reflektif
memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: (1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam diskusi, (2) penekanan pada hipotesis sebagai
fokus utama, dan (3) penggunaan
fakta sebagai bukti.
Model pembelajaran ini memiliki enam langkah pembelajaran. (1) Orientasi sebagai langkah untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan masalah yang akan menjadi pusat penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan dibuktikan sebagai pembimbing atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3) Penjelasan dan pendefinisian istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis. (4) Eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian. (5) Pembuktian dengan cara mengumpulkan data yang bersangkut paut dengan esensi hipotesis. (6) Merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang luas yang mengaitkan beberapa konsep yang erat kaitannya dengan hipotesis.
Prinsip
sosial yang berkembang ditandai
dengan adanya tindakan guru mengambil inisiatif
untuk meneliti dan memandu siswa dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Siswa dalam melakukan proses penelitian akan
sangat tergantung pada kemampuan dalam penelitian, dan ia harus memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses
dari tahap satu hingga tahap akhir.
Prinsip reaksi guru lebih ditandai oleh peranannya sebagai
konselor yang bertugas membantu
para siswa untuk menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses belajar,
merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan pembelajaran. Guru
bertugas membantu siswa dalam
penggunaan bahasa yang komunikatif, logika yang rasional, obyektif, pengertian tentang
asumsi, dan berkomunikasi secara efektif dengan siswa lain. Akibat dari tugas tersebut, guru lebih memiliki peranan yang
bersifat reflektif, di kelas tempatnya memfasilitasi siswa memahami dirinya
dan mampu menemukan alur berpikir
sendiri. Dengan demikian, guru selalu bertindak
sebagai penjernih, pengarah,
konselor, dan instruktur.
Sistem pendukung utama yang diperlukan dalam mengimplementasikan model pembelajaran
ini adalah, pengembangan cara pemecahan masalah kehidupan yang fleksibel, sumber kepustakaan yang takterbatas, dan
akses informasi yang lain sebagai sumber belajar yang baik. Lingkungan belajar yang kaya akan informasi sangat
diperlukan keberadaanya, sehingga
memberi peluang secara optimal kepada siswa untuk melakukan proses penelitian dengan baik.
Dampak pembelajaran model penelitian sosial ini adalah: penjagaan terhadap masalah- masalah sosial dan komitmen terhadap peningkatan kualitas siswa sebagai warganegara. Sedangkan dampak pengiringnya adalah: penghargaan terhadap hak azasi manusia, tindakan sosial, dan toleransi dalam berdialog.
III. KESIMPULAN
Perencanaan
pembelajaran sangat penting
untuk membantu guru dan
siswa dalam mengkreasi, menata, dan
mengorganisasi pembelajaran sehingga memungkinkan
peristiwa belajar terjadi
dalam rangka mencapai
tujuan belajar.
Model
pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara efektif. Model pembelajaran yang efektif adalah
model pembelajaran yang memiliki landasan teoretik yang humanistik, lentur, adaptif, berorientasi kekinian,
memiliki sintak pembelajaran yang sedehana, mudah dilakukan, dapat mencapai tujuan
dan hasil belajar yang disasar.
Model
pembelajaran yang dapat diterapkan
pada bidang studi hendaknya dikemas koheren
dengan hakikat pendidikan bidang
studi tersebut. Namun, secara filosofis tujuan pembelajaran adalah untuk memfasilitasi siswa menjadi pemikir
kritis, humanis, lentur, dan adaptif dalam menerapkan pengetahuan di dunia nyata. Model-model pembelajaran yang dapat mengakomodasikan tujuan tersebut adalah yang berlandaskan pada paradigma konstruktivistik sebagai paradigma alternatif.
Model problem solving and reasoning, model inquiry training, model problem-based instruction, model conceptual change instruction, model group investigation, model problem- based learning, model penelitian Jurisprudensial, model penelitian sosial, dan masih banyak lagi model-model yang lain yang berlandaskan paradigma konstruktivistik, adalah model- model pembelajaran inovatif yang sesuai dengan hakikat pembelajaran humanis populis.
Sumber ;
PEMBELAJARAN_INOVATIF_1.pdf
(upi.edu)
Disajikan Dalam Penataran Guru-Guru SMP, SMA, dan SMK se Kabupaten Jembrana Juni – Juli 2005, di Jembrana
DAFTAR RUJUKAN
Ardhana, W., Kaluge, L.,
& Purwanto. 2003. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar
matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian. Penelitian Hibah Pasca Angkatan I tahun I.
Direktoral Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Ditjen Dikti. Depdiknas.
Ardhana, W., Kaluge, L.,
& Purwanto. 2004. Pembelajaran inovatif untuk pemahaman dalam belajar
matematika dan sains di SD, SLTP, dan di SMU. Laporan penelitian. Penelitian Hibah Pasca Angkatan I tahun
II. Direktoral Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyarakat. Ditjen Dikti. Depdiknas.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring
teaching: An introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks.
1993. In search of understanding: The case for constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.
Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second edition. Boston: Allyn and Bacon.
Costa, A. L.1991. The
school as a home for the mind. Palatine, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Dochy,
F. J. R. C. 1996. Prior knowledge and learning. Dalam Corte, E. D., &
Weinert, F. (eds.): International Encyclopedia of Developmental
and Instructional Psychology. New York: Pergamon
Duit,
R. 1996. Preconception and misconception. Dalam Corte, E. D., & Weinert, F.
(eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional Psychology. New York: Pergamon
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning
and other curriculum models for the multiple intelligences
classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight Training and Publishing, Inc.
Gardner, H. 1991. The unschooled mind: How children
think and how schools should teach.
New York: Basic Books.
Gardner, H. 1999. Intelligence
reframed: Multiple intelligences for the 21th century. New York: Basic Books.
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models approach. Boston: Allyn and Bacon.
Hynd, C.R., Whorter, J.Y.V., Phares, V.L., & Suttles, C.W. 1994. The
rule of instructional variables in
conceptual change in high school physics topics. Journal of Research In Science Teaching.
31(9). Pp.933-946.
Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Krulik, S., & Rudnick, J. A. 1996. The new sourcebook for teacing reasoning and
problem solving in Junior and Senior High School. Boston:
Allyn and Bacon.
Parawansa, P. 2001. Reorientasi terhadap strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Disajikan dalam simposium Pendidikan Nasional dan Munas
I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
Perkins, D. N., & Unger, C. 1999. Teaching and learning for understanding. Dalam Reigeluth,
C. M. (Ed.): Instructioal-design theories and models: A new paradigm of instruction theory, Volume II. New Jersey: Lawrence Erlboum Associates, Publisher.
Puskur. 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi dan hasil belajar mata pelajaran matematika.
Jakarta: Puskur.
Balitbang. Depdiknas.
Rivard, L. P. 1994. A review of writing to learn in
science implications for practice and research. Journal
of Research in Science Teaching. 31(9).
pp. 969-983.
Reigeluth,
C. M. 1999. What is instructional-design theory and how is it changing? Dalam: Reigeluth, C. M. (Ed.). Instructional-design theories and models: A
new paradigm of instructional theory,
volume II. 5-29.
New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publisher.
Santyasa, I W. 2003(a). Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian
berbasis kompetensi. Makalah.
Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. 2003(b). Asesmen
dan kriteria penilaian
hasil belajar fisika berbasis kompetensi Makalah. Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Bidang Peningkatan Relevansi
Program DUE-LIKE Jurusan
Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja, Tanggal 15-16 Agustus
2003, di Singaraja
Santyasa, I W. 2003(c). Pembelajaran fisika berbasis keterampilan
berpikir sebagai alternatif implementasi KBK. Makalah. Disajikan dalam Seminar
Nasional Teknologi Pembelajaran, 22-23 Agustus 2003, Di Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
Santyasa, I W., Subratha, I N., & Suwindra, I N. P. 2003.
Pembelajaran fisika berbasis model rekonstruksi
pengetahuan kognitif dan pengaruhnya terhadap hasil belajar. Laporan penelitian. Research grant program DUE-LIKE
Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja. Lembaga Penelitian IKIP Negeri Singaraja.
Santyasa, I W. 2004. Pengaruh
model dan seting pembelajaran terhadap
remediasi miskonsepsi,
pemahaman konsep, dan hasil belajar fisika pada siswa SMU. Disertasi (tidak
diterbitkan). Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Savery, J. R., &
Duffy, T. M. 1996. Problem based learning: An instructional model and its constructivst framework. Dalam Wilson,
B. G. (Ed.): Constructivist learning environment:
Case studies in instructional design. 135-148. New Jersey: Educational Technology Publications Englewood Clifs.
Siskandar. 2003. Teknologi Pembelajaran dalam kurikulum berbasis
kompetensi. Makalah. Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi
Pembelajaran pada tanggal 22-23 Agustus 2003 di Hotel Inna garuda Yogyakarta.
Suyanto, 2001. Formula
Pendidikan Nasional era global. Makalah. Disajikan
dalam simposium Pendidikan
Nasional dan Munas I alumni PPS.UM. di Malang, 13 Oktober 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar